Proposal Tesis

Standar

KETIDAKHARMONISAN SUAMI ISTRI

SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIAN

(Studi Kasus di Kampung Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat)

 

 

PROPOSAL TESIS

 

 

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Metodologi Penelitian Hukum

 

 

 

Oleh :

 

Nama        : Kotamad Roji

NPM        : 1101652

 

 

 

Program Studi Hukum Keluarga

 

 

 

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

JURAI SIWO METRO

1433 H/2012 M


 

       I.            Latar Belakang Masalah

Syariat Islam mengatur hidup berpasangan dengan melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan-aturan yang disebut sebagai hukum perkawinan dalam Islam.

Dengan demikian perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang harmonis rukun damai dan sejahtera. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[1]

Menurut M. Idris Ramulyo pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang pada prinsipnya untuk seumur hidup dan tidak boleh terjadi perceraian.[2]

Berdasarkan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kebahagian dan kekekalan suatu perkawinan bukanlah hanya skedar uji coba atau pelampiasan nafsu yang pada akhirnya akan berujung pada perceraian namun perkawinan adalah untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan ramah.

Keluarga merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari ayah atau suami, istri atau ibu, dan anak-anak. Hubungan antar individu di dalam keluarga umumnya didasarkan atas hubungan darah dalam perkawinan. Hubungan antar anggota dijiwai oleh suasana kasih sayang dan tanggung jawab. Keluarga mempunyai fungsi merawat, memelihara serta melindungi anak-anaknya dalam rangka sosialisasinya dengan masyarakat yang lebih luas.

Keluarga merupakan sebuah institusi sosial yang memainkan peranan yang besar dalam pewarisan nilai-nilai sosial dari individu kepada individu yang lain. Keluarga merupakan institusi sosial pertama dan utama yang akan melahirkan satu generasi yang baru sebagainpenerus generasi sebelumnnya.

Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan adalah perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling cinta mencintai. Karena itu, agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara dalam waktu – waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah mut’ah, nikah muhallil, nikah muwaqqat dan sebagainya.

Dalam menjalankan kehidupan suami istri kemungkinan terjadi kesalahpahaman antara suami istri. Salah seorang atau kedua-duanya tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, tidak percaya mempercayai dan sebagainya. Keadaan tersebut adakalanya dapat diatasi dan diselesaikan dan adakalanya tidak dapat diselesaikan dengan damai. Bahkan kadang-kadanng menimbulkan kebencian dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri. Apabila dalam kondisi tersebut perkawinan tetap dipertahankan maka tidak menutup kemungkinan akan  menimbulkan perceraian dan permusuhan diantara anggota keluarga lainnya.

Akan tetapi, dalam kenyataannya tujuan perkawinan tifdak terwujud secara utuh, hal ini disebabkan karena salah satu pihak di antara suami atau istri tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan. Sehingga dapat menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Suami istri yang terlibat dalam perselisihan dan pertengkaran harus mengupayakan jalan penyelesaian secara damai dengan musyawarah. Apabila perselisihan tersebut tidak bisa didamaikan lagi maka jalan keluarnya adalah melakukan perceraian. Sedangkan keadaan keluarga yang demikian  menurut syariat Islam memberikan kemungkinan bagi kedua pasanngan untuk melaksanakan perceraian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Dengan demikian, apabila perkawianan seperti itu dilanjutkan, maka pembentukan rumah tangga yang damai dan tentram seperti yang disyariatkan oleh agama tidak tercapai, walaupun usaha-usaha untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut telah dilaksanakan semaksimal mungkin.

Oleh karena itu, realitasnya banyak sekali adanya faktor – faktor tertentu yang timbul sebagai masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah dan berakhir pada perceraian. Faktor tersebut antara lain disebabkan adanya ketidak harmonisan pasangan suami istri.

Penceraian merupakan perbuatan yang terlarang dan sangat dibenci oleh Allah SWT namun di halalkan Nya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut :

حدثنا كثير ابن عبيد حدثنا محمد ابن خالد عن معرف ابن واصل عن محارب دثار عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم : أبغض الحلال الى الله الطلاق (رواه ابو داود)[3]

Artiny: “Telah menceritakan kepada kami Kastir bin Ubaid, telah menceritakan pada kami Muhammad bin Khalid dari Mu’arif bin Washil, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar Nabi SAW bersabda : Perkara halal yang palig dibenci Allah ‘Azza Wa Jalla adalah Talak”.

Hadits tersebut menjelaskan bahwa talak merupakan perkara yang sangat dibenci Allah SWT namun meskipun demikan juga dihalalkan. Meskipun pencerian tidak dilarang akan tetapi penceraian dapat terjadi apabila perselisihan antara suami istri sudah tidak di damaikan dengan cara alasan – alasan apa pun seingga perkawinan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan. Alasan – alasan tersebut tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 yaitu  perceraian dapat terjadi karena :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pamadat, penjudi dan lai sebagainya yang susuah disembuhkan
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut – turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuan.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi oertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik talak.
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[4]

Menurut pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut di jelaskan bahwa pada dasarnya peraturan perundang-undangan itu menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya penceraian.Untuk mengajukan gugatan perceraian harus ada alasan yang dapat dijadikan dasar sebagai alasan perceraian. Apabila salah satu atau beberapa alasan tersebut tidak dapat terpenuhi maka gugatan cerai tidak dapat diajukan ke Pengadilan Agama.

Islam sangat berkeinginan agar kehidupan berumah tangga itu tentram dan terhindar dari keretakan, bahwa diharapkan dapat mencapai suasana pergauilan yang baik saling mencintai. Karenanya dalam Islam banyak hukum yang mengatur dalam maslah rumah tangga termasuk masalah perceraian atau talak. Pemegangan pada hak talak ada pada pihak laki-laki. Akan tetapi perempuan (istri) dapat menuntut cerai dari suaminya (dalam Islam dikenal dengan istilah khulu’) apabila suami adalah tukang mabuk, mencuri, lacur, penipu, tidak mengerjakan solat, menghina Islam dan sebagainya. Meskipun istri dapat menuntut cerai (khulu’) namun perceraian akan jatuh bila suami menjatuhkannya. Namun meskipun istri menuntut cerai akan tetapi bila suami belum menjatuhkan talak maka perceraian tersebut belum terjadi. Sebuah perceraian akan terjadi apabila suami yang menjatuhkannya yaitu dengan mengucapkan kata-kata cerai, baik secara sighat maupun terang-terangan. Jadi, cerai tidak akan jatuh apabila suami tidak berniat menceraikan istri meskipun istri menuntut cerai sampai berkali-kali. Hal ini disebabkan karena wewenang suami sebagai pemimpin keluarga. Sehingga suamin lebih berhak yang menjatuhkan cerai kepada istrinya.

Berdasarkan hasil pra survai yang telah dilakukan di kampung Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat, adalah adanya indikasi bahwa sebagai penyebab perceraian adalah ketidakharmonisan sumai istri dalam berumah tangga.

 

    II.            Identifikasi dan Batasan Masalah

  1. Identifikasi Masalah
    1. Berbagai problem kehidupan yang dialami oleh pasangan suami istri dapat menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga
    2. Ketidakharmonisan suami istri mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga
  2. Batasan Masalah
    1. Faktor-faktor ketidakharmonisan suami istri diantaranya tentang nafkah, kekerasan atau pennganiayaan serta judi dan minuman keras.
    2. Suami dalam hal ini sebagai awal penyebab terjadinya ketidakharmonisan.
    3. Usaha penyelesaian masalah ketidakharmonisan dalam perceraian.

 III.            Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian di atas, maka permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Mengidentifikasikan adanya ketidakharmonisan suami istri yang menyebabkan terjadinya perceraian?
  2. Bagaimana menganalisis proses penyelesaian ketidakharmonisan suami istri yang menyebabkan perceraian?

  IV.            Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

Sutrisno Hadi menyatakan bahwa “Research pada umumnya bertujuan menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan”.[5] Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui apakah ketidakharmonisan suami istri sebagai penyebab perceraian.
  2. Untuk menganalisis proses penyelesaian dalam ketidakharmonisan suami istri sebagai penyebab perceraian.
  3. Kegunaan Penelitian
    1. Penelitian ini berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang fikih munakahat dihubungkan dengan peraturan pemerintah yang berlaku atau ilmu-di bidang ilmu-ilmu yang lain.
    2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam kehidupan rumah tangga, sehingga dapat meminimalisasikan perceraian khususnya dari dampak ketidakharmonisan suami istri dalam berumah tangga
    3. Dalam rangka memenuhi persyaratan tugas kuliah metodologi penelitian dalam bidang hukum keluarga

     V.            Kerangka Teori

Suami istri dalam mengarungi samudra kehiduapnnya ada kalanya mengalami perselisihan atau pertengkaran.Perselisihan atau pertengkaran ini ada yang hanya biasa berlaku sementara dan berakhir dengan damai dan rukun kembali namun ada juga yang berlaku terus menerus hingga akhirnya berakhir dengan perceraian.

 

  1. Pengertian Perceraian

Dalam istilah umum, perceraian adalah putusnya hubungan atau ikatan perkawinan antara suami dengan istri, sedangkan dalam syariat Islam perceraian disebut dengan talak. Talak menurut bahasa adalah pelepasan ikatan yang kokoh. Sedangkan meurut syara’ ialah pelepasan akad perkawinan.

Di bawah ini pendapat para ulama dalam mendefinisikan talak atau perceraian, yakni :

  1. Menurut Sayyid Sabiq, talak ialah pelepasan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.[6]
  2. Menurut Abdurrahman Al-jaziri, talak adalah hilangnya ikatan nikah atau mebatasi geraknya dengan kata-kata khusus, sedangkan makna izaalatun adalah hilangnya ikatan perkawinan sehingga tidak halal lagi suami bercampur dengan istri.[7]
  3. Menurut Al-Hamdani, talak adalah lepasnya ikatan prkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.[8]

Dari beberapa pengertian tentang talak di atas, maka dapat dipahami bahwa perceraian (talak) adalah putusnya iakatan perkawinan antara suami istri sehingga antara keduanya tidak halal lagi bergaul sebagaimana layaknya suami istri

 

  1. Dasar Hukum Perceraian

Menurut dasar hukum perceraian undang-undang No 1 tahun 1974 dalam pasal 39 berbunyi :

  1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.
  3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[9]

Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa melakukan penceraian harus ada alasan yang kongrit dan hanya bias dilakukan di depan siding pengadilan, itu pun setelah Majelis Hakim telah berusaha mencari jalan damai dan ternyata tidak berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak.

  1. Faktor-faktor penyebab terjadinya ketidakharmonisan suami istri

Pada prinsipnya dalam kehidupan berumah tangga hendaknya harus didasari dengan adanya rasa kasih sayang dan penuh kebersamaan serta saling melengkapi di antara keduanya. Disamping saling menjaga kehormatan rumah tangga, disisi lain harus ada rasa pengertian dan kerja sama dan komunikasi yang baik. Namun sebaliknya, jika kehidupan dalam berumah tangga sudah tidak lagi menjalankan hak dan kewajiban dan sudah tidak saling peduli, maka keharmonisan rumah tangga bisa terancam dan akhirnya berakhir dengan perceraian.

Faktor penyebab ketidakharmonisan suami istri dalam berumah tangga terbagi menjadi dua, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang muncul disebabkan dari dalam diri suami atau istri, misalnya faktor nafkah, kekerasan atau pennganiayaan dan seterusnya.Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang muncul disebabkan dari luar, misalnya faktor adanya Judi dan minuman keras dan seterusnya.

Berikut ini faktor-faktor penyebab terjadinya ketidakharmonisan suami istri:

  1. Nafkah

Memberi nafkah kepada istri dan anaknya merupakan salah satu kewajiban suami.Pemberian nafkah dapat dikategorikan sebagi faktor ekonomi. Firma Allah swt :

Artinya : “Hendaklah orang yang mampu member nafkahmenurut kemampuannya dan orang yang disempatkan rezekinya hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.(Ath Thalak: 7)

Ayat di atas menjelaskan tentang adanya hak belanja yang semestinya diperoleh istri dan penegasan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan belanja sesuai dengan kemampuannya. Dalam menuntut belanja dari suaminya, seharusnya istri dapat melihat nilai tingkat kemampuan suaminya. Nafkah secara lahiriah terbagi menjadi dua yaitu nafkah berupa makan dan nafkah berupa pakaian atau sandang.

1)            Memberinya Makan

Memberi makan merupakan istilah lain dari memberi nafkah. Memberi makan ini telah diwajibkan ketika sang suami melaksanakan akad nikah, yaitu dalam bentuk mahar seperti yang tersurat dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 233, Allah berfirman :

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” ( Al Baqarah : 233)

 

Bahkan ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya selama masih dalam masa idahnya dan nafkah untuk mengurus anak-anaknya. Namun apabila hidupnya hanyalah pas-pasan saja maka hanya berkewajiban memberi nafkah menurut sekemampuannya.

Berdasarkan ayat ini pula, memberi nafkah kepada istri hukumnya adalah wajib. Sehingga dalam mencari nafkah, seseorang tidak boleh bermalas-malasan atau menggantungkan hidupnya kepada oranglain serta tidak boleh meminta-minta kepada orang lain untuk memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Sebagai kepala rumah tangga, seorang suami harus neniliki usaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai kemampuannya.

Perbuatan meminta-minta menurut Islam adalah perbuatan yang sangat hin a dan tercela. Burung saja yang diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla tidak sesempurna manusia yang dilenngkapi dengan kemampuan berpikir dan tenaga yang jauh lebih besar, tidak pernah meminta-minta dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhannya.  Dia terbang pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong dan kembali kesarangnya pada sore hari dengan perut yang telah kenyang. Demikianlah yang dilakukakannya setiap hari meski hanya berbekal dengan sayap dan paruhnya.

Seorang suami juga harus memperhatikan rizki-rizki yang halal dan tayibah untuk diberikan kepada istri dan anaknya. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syariat Islam yang mulia. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima dari sesuatu yang haram. Didalam Al Quran Allah berfirman :

Artinya: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mukminun: 51)

 

Dan Allah Ta’ala berfirman :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Al Baqarah: 172)

Nafkah yang diberikan sang suami kepada istrinya lebih besar nilainya di sisi Allah dibanding dengan harta yang di infakkan meskipun dijalan Allah atau di infakkan kepada orang miskin.

2)        Memberikan Pakaian

Seorang suami haruslah memberikan pakaian kepada istrinya sebagaimana suami berpakaian. Apabila suami menutup aurat maka istrinya pun harus menutup aurat. Hal ini menun jukan kewajiban setiap suami maupun istri untuk menutup aurat.

Selain dari pada itu, suami hendaknya menasehati istrinya dalam masalah pakaian sehingga istrinya tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan syariat dan menyempurnakannnya denngan pakaian terbaik menurut Islam. Hal ini agar istri tidak terjebak dengan istilah-istilah busana muslim yang modis dan trendi yang justru pada hakikatnya merupakan busana.

  1. Kekerasan atau penganiayaan

Perilaku kekerasan atau penganiayaan dalam rumah tangga bias saja terjadi. Penganiayaan meliputi penganiayaan bersifat lahiriyah dan penganiayaan bersifat batiniyah. Penganiayaan bersifat lahiriyah misalnya memukul dengan sebab-sebab tertentu dan lain sebagainya. Sedangkan penganiayaan bersifat batiniyah misalnya berbicara menyakitkan, mencaci-maki dan lain sebagainya.Perilaku kekerasan atau penganiayaan semacam ini tidak di perkenankan baik suami maupun istri di dalam kehidupan berumah tangga.

Sebagaimana telah diungkapkan oleh madzab Hanafi bahwa wanita mempunyai hak untuk mengadukan perkaranya kepada hakim agar meyuruh suaminya memperlakukan istrinya dengan baik.[10] Hal ini jika istri mengalami penganiayaan dari suaminya, baik berupa fisik maupun batin, ia berhak memperkarakan  kasus ini ke Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad, bahwa istri berhak menuntut kepada pengadilan agar menjatuhkan talak, jika ia beranggapan suaminya telah berbuat membahayakan diri. Sehingga tak sanggup lagi untuk melangsungkan pergaulan suami istri, seperti karena suka memukul atau menyakiti dengan cara apapun atau dengan memakinya atau menyuruh berbuat mungkar.[11]

1)        Penganiayaan Bersifat Lahiriyah

Di antara hak yang harus dipenuhi seorang suami kepada isterinya ialah tidak memukul wajah isterinya, meski terjadi perselisihan yang sangat dahsyat, misalnya karena si isteri telah berbuat durhaka kepada suaminya. Memukul wajah sang isteri adalah haram hukumnya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla.

 “Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suami-nya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz[12], hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”([An-Nisaa’ : 34)

Dalam ayat ini, Allah membolehkan seorang suami memukul isterinya. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus terpenuhinya kaidah-kaidah sebagai berikut, yaitu:

  1. Setelah dinasihati, dipisahkan tempat tidurnya, namun tetap tidak mau kembali kepada syari’at Islam.
  2. Tidak diperbolehkan memukul wajahnya.
  3. Tidak boleh memukul dengan pukulan yang menimbulkan bekas atau membahayakan isterinya.

Pukulannya pun pukulan yang tidak melukai, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

Artinya : Dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.”[13]

 

Pada zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada sebagian Shahabat yang memukul isterinya, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.Namun ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu mengadukan atas bertambah beraninya wanita-wanita yang nusyuz (durhaka kepada suaminya), sehingga Rasul memberikan rukhshah untuk memukul mereka. Para wanita berkumpul dan mengeluh dengan hal ini, kemudian Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Artinya : Sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul isterinya) bukan orang yang baik di antara kamu.”[14]

2)        Penganiayaan Bersifat Batiniyah

Seorang suami telah memilih isterinya sebagai pendamping hidupnya, maka kewajiban dia untuk mendidik isterinya dengan baik.Setiap manusia tidak ada yang sempurna, sehingga adanya kekurangan dalam kehidupan berumah tangga merupakan sesuatu yang wajar saja terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Terkadang isteri memiliki kekurangan dalam satu sisi, dan suami pun memiliki kekurangan dari sisi yang lain. Tidak selayaknya melimpahkan tumpuan kesalahan tersebut seluruhnya kepada sang isteri. Contoh suatu ucapan yang dapat menyiggung perasaan sang istri misalnya “Semoga Allah menjelekkanmu” atau “Kamu dari keturunan yang jelek” atau yang lainnya yang menyakitkan hati sang isteri.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini juga telah bersabda:

Artinya : Tidak boleh seorang mukmin menjelekkan seorang mukminah. Jika ia membenci satu akhlak darinya maka ia ridha darinya (dari sisi) yang lain.”[15]

 

Seorang suami, sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk membimbing dan mendidiknya dengan sabar sehingga dapat menjadi isteri yang shalihah dan dapat melayani suaminya dengan penuh keridhaan.

Apabila isteri salah, keliru atau melawan suami, maka sebaiknya dinasihati dengan cara yang baik, tidak boleh menjelek-jelekkannya, dan supaya dido’akan agar Allah memperbaiki dan menjadikan menjadi isteri yang shalihah.

  1. Judi dan Minuman Keras

Judi dan minuman keras merupakan perbuatan yang di haramkan oleh Islam dan wajib dijauhi oleh siapapun, termasul suami istri.Judi menyebabkan seseorang berbuat tidak jujur sedangkan minuman keras berpengaruh buruk dalam kesehatan serta sebagai induk dari semua kejahatan.Kedua perbuatan tersebut dapat merusak kebahagiaan rumah tangga dan sah dijadikan sebagai sebab perceraian. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam antara lain menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang susah disembuhkan.[16]

    VI.          Kerangka Pikir

 

 VII.          Metode Penelitian

  1. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, dilakukan penelitian di Kampung Indraloka II Kecamatan Way kenanga Kabupaten Tulang Bawang.Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut karena sesuai dengan objek penelitian yang penulis lakukan. Di samping lokasi tersebut merupakan lokasi dimana penulis bertempat tinggal di kampung tersebut di sisi lain mengurangi kemungkinan-kemungkinan bila terjadi hambatan atau kendala di kemudian hari.

 

  1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berbentuk eksploratif, menurut Suharsini Arikunto “dalam penelitian eksploratif peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu”.[17]Maksudnya di dalam penelitian ini peneliti mempelajari secara intensif masalah munculnya ketidakharmonisan suami istri yang menyebabkan penceraian.

 

  1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian penulis, yaitu sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif karena penelitian ini berupa pengungkapan fakta yang ada yakni sesuatu penelitian berfokus pada usaha pengungkapan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya yang diteliiti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Sehingga dari uraian tersebut akan tergambar tentang munculnya ketidakharmonisan suami istri sebagai penyebab penceraian serta proses penyelesaiannya di Kampung Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat.

  1. Sumber Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka sumber datanya adalah masalah-masalah yang muncul dari ketidakharmonisan suami istri di Kampung Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat serta hal-hal yang telibat dalam proses penyelesaian perceraian akibat ketidakharmonisan suami istri.

 

  1. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kasus lapangan. Maka dalam usaha pengumpulan data menggunakan field research (Penelitian Lapangan). Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian secara langsung ke daerah penelitian. Adapun metode yang digunakan adalah Metode observasi, interview

Metode Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai penomena sosial dan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan.Metode ini digunakan untuk melakukan pengamatan secara langsung dilokasi penelitian untuk memperoleh data tentang faktor perceraian karena adanya ketidakharmonisan suami istri di Kampung Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Metode interview adalah mengadakan wawancara yang dilakukan secara sengaja kepada beberapa sumber yang berkenaan dengan faktor ketidakharmonisan suami istri menyebabkan perceraian di Kampung Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat.

 

  1. Metode Analisis Data

Di dalam analisis data, penulis menggunakan analisis kualitatif karena data yang diperoleh berasal dari literature yang ada di diperpustakaan dan dari peelitian lapangan yang kemudian ditarik suatu kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan.Maksud dari analisa kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian diuraikan sedemikian rupa disertai pembahasan dan kemudian hasil analisa tersebut dilaporkan dalam bentuk tesis.

Dalam menganalisa data tersebut, penulis menggunakan metode sebagai berikut :

1)             Metode Deduktif

Metode deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari pertanyaan umum menuju pertanyaan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio (berfikir rasional).[18]Penulis menggunakan metode ini utuk memahami faktor perceraian karena tidak harmonisan suami istri di kampong Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat.

2)             Metode Induktif

Metode Induktif yaitu pengambilan kesimpulan dimulai dari pertanyaan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum.[19]Hal ini dimulai dari pengumpulan data-data yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pokok masalah bahasan dalam tesis ini, kemudian menyimpulkan penegrtiannya. Penulis menggunakan metode ini agar dengan mudah dan tepat menyimpulkan faktor ketidakharmonisan suami  istri menyebakan perceraian di kampong Indraloka II Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang Barat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos, Jakarta

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Pembinaan dan Kelembagaan Islam, Jakarta, 1998

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fikih Muslim Ibadah Mu’amalat, Alih Bahasa Zaid Husain Al-Sayyid Sabiq, Terjemah Fikih Sunnah, Jilid VIII, Al-Maa’arif, Bandung

M. Idris Ra,ulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999

Nana Sudjana, Tuntunan Penyususnan Karya Ilmiah, Nakalah, Skripsi, Tesis, Distertasi, Sinar Baru, Bandung.

Suharmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta

Sutrisno Hadi, Metodologi Reasearch, Jilid I, Ypgyakarta (UGM), tp, 1985

Zainal Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perudang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993

 

RENCANA OUT LINE

HALAMAN SAMPUL DEPAN ……………………………………………………

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………

ABSTRAK ……………………………………………………………………………

PERSETUJUAN ……………………………………………………………………..

PENGESAHAN ……………………………………………………………………..

PERNYATAAN ORSINALITAS PENELITIAN ………………………………….

DAFTRA ISI …………………………………………………………………………

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………..
  2. Identifikasi dan Batasan Masalah ……………………………………………
  3. Rumusan Masalah ……………………………………………………………
  4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………………………………….
  5. Kerangka Teori dan Kerangka Pikir …………………………………………

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  1. Pengertian Penceraian ……………………………………………………….
  2. Dasar Hukum Penceraian ……………………………………………………
  3. Faktor Penyebab ketidakharmonisan suami istri ……………………………..

BAB III METODE PENELITIAN

  1. Lokasi penelitian …………………………………………………………….
  2. Jenis Penelitian ……………………………………………………………….
  3. Sifat Penelitian ……………………………………………………………….
  4. Sumber data ………………………………………………………………….
  5. Metode Pengumpulan Data ……………………………………………………
  6. Metode Analisis Data …………………………………………………………

BAB IV HASIL PENELITIAN

  1. Sejarah Umum Kampung Indraloka II ………………………………………
  2. Faktor-faktor ketidak harmonisan Suami Istri Penyebab Perceraian ………..
  3. Penyelesaian Masalah Perceraian di Kampung Indraloka II ………………..
  4. Analisis Tentang Perceraian akibat ketidakharmonisan suami Istri

di Kampung Indraloka II …………………..…………………………….…..

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Kesimpulan …………………………………………………………………..
  2. Saran …………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………………….

 

 

 


[1] Zainal Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perudang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993, hal 3

[2] M. Idris Raulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal 10

[3] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, Darul Al-Fikri, tt, hal 500.

[4] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Pembinaan dan Kelembagaan Islam, Jakarta, 1998, hal. 56

[5] Sutrisno Hadi, Metodologi Reasearch Jilid I, Yogyakarta (UGM), tp, 1985, hal 3

[6] Sayyid Sabiq, Terjemah Fikih Sunnah, Jilid VIII, Al Ma’arif, Bandung, 1994, hal. 9

[7] Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh Al Mazahibul  Al Arba’ah, Kairo, 1980, hal. 278

[8] Al Hamdani, Risalah Nikah, Raja Murah, Pekalongan, 1980, hal. 166

[9]Undang-undang Pokok Perkawinan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 12-13

[10] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fikih Muslim Ibadah Mu’amalat, Alih Bahasa Zaid Husain Al-Hamid,Pustaka Amani, Jakarta 1999, hal 135

[11] Sayyid Sabiq, Terjemah Fikih Sunan, Jilid VIII, Al-Ma’arif, Bandung,  1994, hal. 87.

[12]Nusyuz yaitu meninggalkan kewajibannya selaku isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya, dan lainnya.

[13]Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1218 (147)), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.

[14]Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2146), Ibnu Majah (no. 1985), Ibnu Hibban (no. 1316 -al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/188), dari Sahabat Iyas bin ‘Abdillah bin Abi Dzubab radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

[15]Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1469), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[16] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos, Jakarta, 1999, hal. 175.

[17] Suharmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hal 8.

[18] Nana Sudjana, Tuntunan Penyususnan Karya Ilmiah, Nakalah, Skripsi, Tesis, Distertasi, Sinar Baru, Bandung, tt, hal. 6.

[19]Ibid, hal 7.


Tinggalkan komentar